Rabu, 31 Oktober 2012

PDB China Akan melewati Amerika Serikat, Ramalan atau Akan Jadi Kenyataan ?



PDB China Akan melewati Amerika Serikat, Ramalan atau Akan Jadi Kenyataan ?

Oleh: Mohamad Iqbal.

Apa yang akan kita pikirkan jika kita mendengar kata “China” dalam era globalisasi pada saat ini ? tentu, sejumlah imajinasi atau ungkapan kata sudah terbenak dalam pemikiran kita. China yang dahulunya masih menjadi negara berkembang, banyak kemiskinan, ekonomi yang sama dengan negara bagian ketiga, kini berubah menjadi seekor “Naga” yang menggenggam perekonomian dunia pada saat ini. Produk “Made in China” kita sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, bukan hanya dalam satu produk saja, akan tetapi 90% dari produksi dunia sudah bisa diproduksi oleh China, mulai dari perabotan rumah tangga, sampai ke tingkat tekhnologi, automotive dan juga militer. tentu saja peningkatan perekonomian China ini akan berimbas kepada pendapatan negara ini. PDB China kian tahun kian bertambah saja, bahkan sudah bisa melebihi Amerika Serikat dalam hal cadangan devisanya, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kemudian jika China terus menggeliat dengan perekonomiannya, maka melebihi PDB Amerika Serikat bukanlah hal yang mustahil.

Mari coba kita bandingkan PDB kedua negara ini dengan asumsi yang dimulai pada tahun 2007. Pada tahun 2007 PDB Amerika Serikat adalah 13,8 triliun dolar. Dengan ukuran revisi dan kesamaan daya beli, bank dunia memperkirakan PDB China pada tahun 2007 adalah 7,1 triliun dolar. Kemudian mari coba kita asumsikan bahwa PDB Amerika Serikat akan tumbuh pada angka 2,8 persen pertahun dari tahun 2007 hingga 2020, mengingat adanya krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat yang terjadi pada tahun 2007 rasanya ini merupakan asumsi yang cukup rasional. Jadi, pada tahun 2020 nanti maka PDB Amerika Serikat akan menjadi 19,76 triliun dolar. Sedangkan untuk China sendiri kita asumsikan PDB China tumbuh pada 8,2 persen pertahun, maka pada tahun 2020 PDB China akan menjadi 19,78 triliun dolar, hanya sedikit diatas Amerika Serikat. Akan tetapi secara perlahan tetapi pasti China terus meningkatkan PDBnya untuk mengalahkan Amerika Serikat.

Referensi: Buku Gregory C Chow, Memahami Dasyatnya Ekonomi China, Metagraf, Cereative Imprint of Tiga Serangkai, Solo, 2011.

Senin, 22 Oktober 2012

KEDAULATAN PANGAN : ANGAN-ANGAN ATAU REALISASI NYATA


KEDAULATAN PANGAN :
ANGAN-ANGAN ATAU REALISASI NYATA

Oleh : Mohamad Iqbal.
            Ironi, mungkin kata itulah yang menggambarkan kondisi pangan di Indonesia pada saat ini, negara yang dahulu pada era Soeharto pernah menjadi macan Asia karena swasembada pangannya terutama beras, kini hanya menjadi kenangan belaka. Kawasan ataupun daerah yang dahulunya merupakan tempat lumbung padi atau tempat bercocok pangan lainnya, kini sudah berubah menjadi perumahan, perkantoran, dan juga jalan-jalan besar. Kondisi ini terus menerus berlanjut hingga sekarang ini, bahkan kita mendengar dalam media massa baik cetak maupun elektronik bahwa pada tanggal 25-27 Juli 2012 kemarin, perajin tahu tempe, dua produk pangan khas Indonesia, di berbagai daerah terpaksa melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari. Akibatnya tahu dan tempe sempat lenyap di pasaran. Penyebabnya adalah harga kedelai selaku bahan pokok produk ini melambung tinggi harganya dan tidak bisa dijangkau oleh para produsen tahu dan tempe.
            Sekadar catatan, kebutuhan nasional akan kedelai pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 2,2 juta ton. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, produksi kedelai lokal hanya mencapai 851.287 ton tau hanya 29 % dari total jumlah kebutuhan nasional. Sehingga Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 71%. Artinya setengah dari kebutuhan nasional diimpor dari luar negeri. Contoh pangan lainnya yang juga Indoensia sangat tergantung dengan negara lain yaitu, garam 50% impor, daging sapi 23% impor, dan jagung 11,23 % harus impor dan ini semua menghabiskan anggaran negara sebanyak 135 triliun per tahunnya. Bayangkan, negara agraris yang subur makmur seperti Indonesia ini harus mengimpor barang yang notabenya bisa diproduksi di Indonesia, seharusnya kalau pemerintah serius untuk memperhatikan para petani lokal dan memberikan insentif modal kepada mereka, Indonesia bisa lebih unggul dalam segala hal yang berkaitan dengan kedaulatan pangan. Karena apa yang tidak dipunyai negara lain di Indonesia bisa ditemukan dan bahkan lebih bagus.
            Selain masalah produk pangan yang masih banyak kita impor dari negara lain, ada masalah lain yang harus segera ditangani oleh pemerintah, yaitu masalah lahan pertanian. Karena itu merupakan infrastruktur penunjang utama dari keberhasilam swasembada pangan. Tanpa adanya lahan yang cukup dan tanah yang bagus maka swasembada pangan hanya akan jadi angan-angan belaka. Sekedar untuk informasi saja, kalau kita bandingan Indonesia dengan negara lain dalam lahan pangan sudah semakin ketinggalan jauh, Australia saja membuka sekitar 50 juta hektar untuk swasembada pangan, kemudian Cina 143 juta hektar, Amerika Serikat 175 juta hektar, dan Thailand 31 juta hektar. Sedangkan Indonesia hanya membuka 11 juta hektar untuk lahan pangan. Sangat ironis untuk bangsa sebesar ini, hanya membuka lahan pangan sebesar itu.
            Ekspektasi tinggi kini digantungkan kepada kementrian pertanian, apakah pemerintah bisa menjadikan Indonesia kembali dalam swasembada pangan, atau Indonesia hanya menjadi penonton perkembangan negara Asia Tenggara lainnya yang maju dalam swasembada pangannya? dan juga apakah pmerintah akan berdiam diri saja ketika negara ini menjadi pengimpor terbesar dunia dalam hal pangan. Aksi dari kementrian pertanian akan kita tunggu, sejauh mana dan seberapa besar niat dari pemerintah untuk melakukan swasembada pangan dalam mensejahterakan petani Indonesia.  

Referensi :
-          Majalah “MAJELIS” yang dikeluarkan oleh MPR, edisi NO.09/TH.IV/SEPTEMBER 2012

Minggu, 14 Oktober 2012

Lomo Photograpy

Just Triying some Photograpy at Mountain Pangrango


KONFERENSI G+20 DAN KONSEP GREEN ECONOMY UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN


“KONFERENSI G+20 DAN KONSEP GREEN ECONOMY UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN”

OLeh : Mohamad Iqbal

Pada tanggal 20-22 Juni 2012 Sekitar 120 pemerintah negara diseluruh pelosok dunia akan  berkumpul dan merundingkan suatu masalah yang sangat penting demi masa depan bersama. Isu besar dalam pertemuan di Rio de Janeiro, Brasil, dalam ajang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB yang lebih dikenal dengan Rio+20 ini masih akan tetap sama, yaitu akan mempertemukan negara-negara maju dengan negara-negara berkembang untuk membicarakan isu lingkungan hidup yang kian lama kian buruk dan masalah ini harus cepat dicarikan solusinya demi kelangsungan hidup antar negara-negara yang lebih baik.
            Pada Konferensi Rio+20 ini akan dideklarasikan dokumen The Future We Want yang memuat masa depan yang diinginkan oleh umat manusia di planet bumi, dan bagaimana pengaturan institusinya agar keinginan untuk mencegah dari kehancuran bumi akibat dari ulah manusia yang tidak peduli dengan lingkungan, yang hanya perduli kepada keuntungan semata (business as usual) bisa terealisasi dan juga bis untuk dilaksanakan. Salah satu solusi yang akan ditawarkan dalam konferensi ini adalah “green economy” yang intinya adalah berisi upaya valuasi jasa lingkungan. Konsep ekonomi hijau berfokus terutama pada titik persimpangan antara lingkungan dan ekonomi. Ini mengingatkan pada Konferensi Rio 1992: Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan. Sebenarnya konsep green economy ialah rancangan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Green economy muncul sebagai suatu pemikiran yang ideal untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan, yang hanya akan merusak lingkungan, hingga akhirnya mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani.
            Green economy diharapkan dapat berperan untuk menggantikan model ekonomi “penjahat” yang boros, timpang, dan tidak ramah lingkungan. Green economy dibangun atas dasar kesadaran akan pentingnya ekosistem yang menyeimbangkan aktivitas pelaku ekonomi dengan ketersediaan sumber daya. Selain itu, pendekatan green economy dimaksudkan untuk mensinergikan tiga nilai dasar yakni: profit, people, dan planet. Pandangan ini mengimbau agar para pelaku ekonomi bukan hanya memaksimalkan keuntungan semata, tetapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berada di dekat sumber daya alam tersebut serta turut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan.
            Esensi dari green economy ialah mengarah pada membangun ulang kembali bisnis yang lebih baik pada investasi alam. Green economy diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Sehingga pada saat yang bersamaan, usaha ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca, menghasilkan sampah dalam jumlah kecil, penghematan energi, dan meminimalisasi limbah-limbah industri. Negara-negara maju pun kini mewanti-wanti Indonesia yang masih memiliki alam dan hutannya relatif masih baik untuk dapat dilestarikan. Bahkan negara maju sampai rela mengeluarkan dana untuk konservasi alam. Sayangnya, para pelaku ekonomi di Indonesia terkadang tidak cermat untuk memperhatikan masalah ini. Bahkan, ada beberapa pihak cenderung yang tidak suka dengan ajakan tersebut, karena dirasa terlalu mengintervensi Indonesia untuk tidak memanfaatkan kekayaan alamnya, dan menyalahkan negara maju karena telah menghancurkan hutannya ratusan tahun yang lalu.
            Konsep green economy kemudian menjadi lekat dengan istilah-istilah yang telah ada dalam meja perundingan perubahan iklim, yaitu permasalahan offset karbon dan perdagangan karbon. Green economy oleh kalangan masyarakt sipil dipandang sebagai fase kedua dari kapitalisme, dengan memberikan harga pada alam. Serupa dengan protokol Nagoya. Yang secara singkatnya berbunyi, pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati oleh korporasi-korporasi raksasa dengan pembagian keuntungan kepada masyarakat lokal dalam proporsi yang tidak adil dan juga merata. Oleh karena itu, konsep green economy yang sudah dirancang dengan sangat bagus ini, yang juga memperhatikan masalah lingkungan agar tidak berakhir seperti itu.
        Dan perlu diingat adalah dasar dari negosiasi pada Rio+20 adalah prinsip “common but differentiated responsibilities” (sama tetapi berbeda tanggung jawab). Sama dalam hal membangun dunia dengan menghiraukan keberlanjutan alam dan ligkungan, tetapi berbeda bebannya. Yang diharapkan sebenarnya adalah bagaimana negara berkembang bisa bekerja sama untu meningkatkan efisiensi energi dan mengembangkan energi terbarukan. Dan Indonesia sebagai negara berkembang yang kini mempunyai posisi strategis seharusnya bisa memainkan perannya dalam konferensi ini. Karena pada konferensi Rio+20 ini Presiden Indonesia berkesempatan untuk menjadi Panel of Eminent Person atas pilihan sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon beserta dua presiden lainnya, yaitu Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan PM Inggris David Cameroon. Dengan ditunjuknya Indonesia sebagai salah satu dari Panel of Eminent Person tersebut merupakan sebuah pengakuan tersendiri dari forum internasional bahwa Indonesia juga merupakan sebuah negara besar, negara yang cukup penting, apalagi dari segi sumber daya alamnya yang sangat melimpah, dan seharusnya ini bisa dijadikan peningkatan bargaining position Indonesia. Diharapkan juga Indonesia bisa merangkul negara-negara maju dan juga negara-negara berkembang demi kepentingan nasional Indonesia sendiri. Karena banyak dari negara maju yang sudah mau menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk merawat hutannya dan terus menjadikan hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Dan hal ini harusnya kita syukuri, dan kesempatan ini harus digunakan sebaik-baiknya oleh Indonesia. Indonesia jangan hanya menjadi negara pengekor, tapi Indonesia harus bisa menjadi inovator dalam setiap permasalahan internasional yang terjadi sekarang ini. 

Minggu, 08 April 2012

KERJASAMA EKONOMI INDONESIA – CHINA DALAM BIDANG PERDAGANGAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS CAFTA : CHINA-ASEAN FREE TRADE AREA)

KERJASAMA EKONOMI INDONESIA – CHINA DALAM BIDANG PERDAGANGAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS CAFTA : CHINA-ASEAN FREE TRADE AREA)

Oleh : Mohmad Iqbal
            Hubungan antara Indonesia dan China adalah satu hal yang amat penting, baik bagi Indonesia maupun untuk China sendiri. Hubungan Bilateral Indonesia-China yang pernah membeku sepanjang pemerintahan Orde Baru, kini makin membaik, dan bahkan China merupakan salah satu mitra yang penting bagi Indonesia. Secara geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka. Sedangkan secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara-negara industri yang sedang maju saat ini seperti China untuk menguasainya, langsung ataupun tidak langsung. Disamping itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 243 juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara-negara industri.
            Sedangkan China sendiri adalah dulunya merupakan negara berkembang yang dimana pemerintahnya masih menerapkan sistem tertutup dan belum terbuka dengan negara lainnya, akan tetapi kini sudah berubah menjadi negara maju yang perekonomiannya terus berkembang pesat bahkan sudah mengalahkan perkembangan negara-negara diu kawasan Eropa, dan China sekarang adalah negara yang sangat terbuka dengan investasi asing semenjak liberalisasi ekonomi yang dibawa pada tahun 1979 oleh Den Xioping. Dengan menggunakan sistem open door policy atau membuka secara luas investasi asing yang akan masuk ke China, membuat negara ini semakin disegani dalam pertumbuhan ekonominya dan investor asing yang masuk ke China juga semakin banyak, ini dikarenakan iklim investasi di China sangat mendukung, dan para investor pun dipermudah birokrasinya oleh pemerintah setempat. Kemudian juga pertumbuhan ekonmi China tidak pernah lepas dari angka dua digit, menjadi alasan utama investor asing berbondong-bondong menginvestasikan properti atau sahamnya di China. Cadangan devisa China pada saat ini juga sudah mencapai 3 miliar USD mengalahkan Amerika Serikat, sehingga wajar dilihat dari faktanya yang ada pada saat ini bahwa China sekarang ini sudah menjadi superpower baru yang bisa menyaingi kekuatan dari Amerika Serikat terutama dalam hal ekonominya.
            Hubungan bilateral antara China dan Indonesia terutama dalam bidang ekonomi saat ini terus meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai perdagangan kedua negara, yang pada tahun 2008 mencapai US$ 31 miliar. Dalam lima tahun ke depan, Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Susilo B. Yudhoyono memperkirakan nilai perdagangan Indonesia-China akan mencapai US$ 50 miliar[1]. Peningkatan hubungan bilateral tersebut, diungkapkan oleh Dubes China, tidak terlepas dari terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, baik dari pihak China maupun dari pihak Indonesia. Indonesia berharap lambannya realisasi dana pinjaman China agar bisa cepat terealisasikan sehingga bisa dioptimalkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya, dunia usaha China yang ingin berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah[2]. 
            Tampilnya Cina sebagai kekuatan besar di dunia, dianggap bisa membantu Indonesia mengimbangi pengaruh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang di kawasan Asia Pasifik. Bagi Indonesia yang menginginkan kondisi stabil di kawasan, bermitra dengan China menjadi sesuatu yang tak terelakan sekaligus langkah strategis bagi kepentingan nasional.
Salah satu  cara untuk mempererat hubungan satu negara dengan negara lainnya dalah dengan melakukan perdagangan internasional. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa. Perdagangan internasional pada saat ini secara tidak langsung mendorong terjadinya globalisasi, hal ini  ditandai dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan, dan investasi. Dan ini bisa menjadi modal yang penting bagi suatu negara untuk menarik investor masuk ke dalam negerinya untuk menanam investasi di negarnya. Apalagi didukung dengan situasi politik yang kondusif dan lingkungan bisnis yang kompetitif di dalam negara tersebut, maka bukan tidak mungkin perkembangan ekonomi negara tersebut akan tumbuh semakin cepat.
            Seperti halnya hubungan antara Indonesia dan China, hubungan ini sangat lekat dengan adanya perdagangan internasional, dan salah satu perdagangan diantara kedua negara ini yang masih baru dan juga masih berjalan sampai saat ini adalah adanya perdagangan bebas CAFTA (China Asean Free Trade Area).
              Sejak CAFTA diterapkan, jumlah perusahaan China yang menanamkan investasi di Indonesia juga bertambah. Hingga akhir 2010 terdapat lebih dari seribu perusahaan China yang tercatat di Indonesia, dengan investasi langsung mencapai 2,9 miliar dollar AS atau naik 31,7 persen dari tahun sebelumnya[3]. Dan juga produk-produk China yang masuk ke China juga menjadi sangat banyak dan bahkan membanjiri pasar lokal Indonesia. Dengan harganya yang relatif murah dan juga dari segi kualitas juga tidak kalah berbeda dengan barang-barang bermerek lainnya, membuat produk China diserbu oleh konsumen Indonesia yang rata-rata dalam memilih suatu produk dilihat dari harganya yang terjangkau terlebih dahulu.
Berbagai produk nasional yang terancam akan membanjirnya produk China antara lain dalam bidang : tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak, serta otomotif[4]. Dan akan masih banyak lagi produk-produk dari China yang akan membanjiri pasar Indonesia juga pemerintah tidak segera mengantisipasinya, dikarenakan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial yang berada di kawasan Asia Tenggara, masyarakat Indonesia sudah terbiasa menjadi masyarakat yang konsumtif, yang hanya memikirkan untuk memilih barang semurah mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
            Sedangkan bagi Indonesia sendiri, Indonesia hanya bisa mengirim bahan-bahan mentah seperti hasil bumi untuk dijadikan komuditas ekspor ke China dalam rangka CAFTA ini. Dimana harganya pun masih relatif murah sehingga pendapatan untuk negara juga tidak terlaru besar. Untuk ekspor ke China sendiri yang paling dominan adalah ekspor biji kakao. Indonesia memang dikenal sebagai penghasil biji kakao yang baik dan juga berkualitas tinggi, tidak heran kalau sector inilah yang menjadi andalan Indonesia untuk ekspor ke China. Akan tetapi ekspor ini bukan tanpa halangan, karena banyak negara yang menjadi pesaing dalam ekspor produk ini, seperti misalnya Italia dan juga Malaysia. Indonesia sendiri kini berada dalam urutan kelima dalam pemasok biji kakao ke negara China dengan nilai USD 25,12 juta (9,63 %) pada tahun 2009[5].
            Dengan banyaknya saingan yang ada maka, ini perlu dijadikan perhatian yang serius bagi pemerintah Indonesia yang dimana Indonesia sebagai negara berkembang harus bisa untuk mengolah atau memilih ekspor dengan pendapatan yang cukup besar, jangan hanya bisa mengekspor barang mentah saja, atau hasil bumi saja, paling tidak Indonesia harus sudah bisa mengekspor barang setengah jadi bahkan barang yang sudah jadi, sehingga pendapatan untuk negara juga semakin bertambah besar. Karena selama ini, ekspor Indonesia didominasi produk mentah dan bahan baku seperti biji kakao, kemudian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak mentah. Sementara itu, impor dari China sudah berbentuk barang setengah jadi dan barang yang sudah jadi terutama dalam bidang tekhnologi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko menambahkan, ada beberapa penyelamatan jangka pendek terkait pemberlakuan CAFTA itu, yakni perlindungan produk dalam negeri (safeguard), program antidumping maupun kewajiban mencantumkan produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut dia, CAFTA dalam jangka menengah memberi kesempatan untuk memacu daya saing perekonomian domestik. Dalam jangka menengah, perlu memanfaatkan peluang dengan mengidentifikasi sektor yang komplemen terhadap produk China, mendorong peluang non perdagangan seperti investasi langsung untuk kapasitas produksi dan memperbaiki logistik[6]. 
            Pemerintah tampaknya tidak perlu renegosiasi perjanjian perdagangan ASEAN-China, karena lebih menyulitkan dan membutuhkan proses lama. Karena proses negosisasi ini sendiri bukan hanya Indonesia saja yang terlibat, akan tetapi Negara-negara ASEAN juga harus ikut terlibat, karena perdagan bebas ini melingkupi keseluruhan negara-negara Asia Tenggara. Menurut Anggito Abimanyu seorang pengamat ekonomi Perjanjian CAFTA yang disepakati menteri perdagangan ASEAN-China, ada tiga. Pertama, CAFTA tetap dilanjutkan dan tidak ada rencana notifikasi karena kerugian akibat kecurangan perdagangan (unfair trade). Kedua, bila suatu negara mengalami defisit, negara surplus harus mendorong impor. Ketiga, pembentukan tim pengkajian terhadap perdagangan bilateral[7]. Bila memang ada kerugian akibat perdagangan bebas, maka membutuhkan biaya mahal dan proses panjang untuk membuktikan hal tersebut. Selain itu, kesepakatan bukan hanya dengan China tapi juga dengan negara ASEAN. 


KESIMPULAN
            Hubungan antara Indonesia dan China yang sebelumnya sempat kurang baik dan tidak terlaru dekat pada era rezim orde lama kini berangsur membaik dan bahkan sekarang menjadi mitra dagang yang cukup strategis, salah satu perwujudan dari hubungan mitra dagang yang baik antara China dan juga Indonesia adalah dengan adanya CAFTA (China ASEAN Free Trade Area) yang dimana CAFTA ini sebenarnya dimulai ketika era Megawati namun itu hanya pondasi awal, dan implementasi yang nyata dari perjanjian CAFTA itu dimulai pada 1 januari 2010. Pada awal dimulainya CAFTA ini, Indonesia sudah diresahkan dengan membanjirnya produk-produk China di pasaran lokal, yang membuat pengusaha dalam negeri kita kewalahan dan bahkan ada yang gulung tikar, dan ini merupakan hal yang sangat harus diperhatikan oleh pemerintah, yang dimana pemerintah harus bisa melindungi masyarakatnya dari serbuah produk-produk asing. Oleh karena itu perlu pemerintah harus mengkaji benar manfaat dan juga kerugian yang di dapat dari CAFTA ini, karena kalau tidak secepatnya diantisipasi bukan tidak mungkin pasar lokal akan diisi penuh oleh produk China dan pengusaha lokal hanya bisa tertunduk lesu dan melihat took-tokonya tutup gulung tikar.



[2] Ibid
[5] Departemen Perindustrian. 2009. “Roadmap Pengembangan Industri Kakao”. Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Jakarta.
[7] Ibid