Minggu, 08 April 2012

KERJASAMA EKONOMI INDONESIA – CHINA DALAM BIDANG PERDAGANGAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS CAFTA : CHINA-ASEAN FREE TRADE AREA)

KERJASAMA EKONOMI INDONESIA – CHINA DALAM BIDANG PERDAGANGAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS CAFTA : CHINA-ASEAN FREE TRADE AREA)

Oleh : Mohmad Iqbal
            Hubungan antara Indonesia dan China adalah satu hal yang amat penting, baik bagi Indonesia maupun untuk China sendiri. Hubungan Bilateral Indonesia-China yang pernah membeku sepanjang pemerintahan Orde Baru, kini makin membaik, dan bahkan China merupakan salah satu mitra yang penting bagi Indonesia. Secara geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka. Sedangkan secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara-negara industri yang sedang maju saat ini seperti China untuk menguasainya, langsung ataupun tidak langsung. Disamping itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 243 juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara-negara industri.
            Sedangkan China sendiri adalah dulunya merupakan negara berkembang yang dimana pemerintahnya masih menerapkan sistem tertutup dan belum terbuka dengan negara lainnya, akan tetapi kini sudah berubah menjadi negara maju yang perekonomiannya terus berkembang pesat bahkan sudah mengalahkan perkembangan negara-negara diu kawasan Eropa, dan China sekarang adalah negara yang sangat terbuka dengan investasi asing semenjak liberalisasi ekonomi yang dibawa pada tahun 1979 oleh Den Xioping. Dengan menggunakan sistem open door policy atau membuka secara luas investasi asing yang akan masuk ke China, membuat negara ini semakin disegani dalam pertumbuhan ekonominya dan investor asing yang masuk ke China juga semakin banyak, ini dikarenakan iklim investasi di China sangat mendukung, dan para investor pun dipermudah birokrasinya oleh pemerintah setempat. Kemudian juga pertumbuhan ekonmi China tidak pernah lepas dari angka dua digit, menjadi alasan utama investor asing berbondong-bondong menginvestasikan properti atau sahamnya di China. Cadangan devisa China pada saat ini juga sudah mencapai 3 miliar USD mengalahkan Amerika Serikat, sehingga wajar dilihat dari faktanya yang ada pada saat ini bahwa China sekarang ini sudah menjadi superpower baru yang bisa menyaingi kekuatan dari Amerika Serikat terutama dalam hal ekonominya.
            Hubungan bilateral antara China dan Indonesia terutama dalam bidang ekonomi saat ini terus meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai perdagangan kedua negara, yang pada tahun 2008 mencapai US$ 31 miliar. Dalam lima tahun ke depan, Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Susilo B. Yudhoyono memperkirakan nilai perdagangan Indonesia-China akan mencapai US$ 50 miliar[1]. Peningkatan hubungan bilateral tersebut, diungkapkan oleh Dubes China, tidak terlepas dari terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, baik dari pihak China maupun dari pihak Indonesia. Indonesia berharap lambannya realisasi dana pinjaman China agar bisa cepat terealisasikan sehingga bisa dioptimalkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya, dunia usaha China yang ingin berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah[2]. 
            Tampilnya Cina sebagai kekuatan besar di dunia, dianggap bisa membantu Indonesia mengimbangi pengaruh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang di kawasan Asia Pasifik. Bagi Indonesia yang menginginkan kondisi stabil di kawasan, bermitra dengan China menjadi sesuatu yang tak terelakan sekaligus langkah strategis bagi kepentingan nasional.
Salah satu  cara untuk mempererat hubungan satu negara dengan negara lainnya dalah dengan melakukan perdagangan internasional. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa. Perdagangan internasional pada saat ini secara tidak langsung mendorong terjadinya globalisasi, hal ini  ditandai dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan, dan investasi. Dan ini bisa menjadi modal yang penting bagi suatu negara untuk menarik investor masuk ke dalam negerinya untuk menanam investasi di negarnya. Apalagi didukung dengan situasi politik yang kondusif dan lingkungan bisnis yang kompetitif di dalam negara tersebut, maka bukan tidak mungkin perkembangan ekonomi negara tersebut akan tumbuh semakin cepat.
            Seperti halnya hubungan antara Indonesia dan China, hubungan ini sangat lekat dengan adanya perdagangan internasional, dan salah satu perdagangan diantara kedua negara ini yang masih baru dan juga masih berjalan sampai saat ini adalah adanya perdagangan bebas CAFTA (China Asean Free Trade Area).
              Sejak CAFTA diterapkan, jumlah perusahaan China yang menanamkan investasi di Indonesia juga bertambah. Hingga akhir 2010 terdapat lebih dari seribu perusahaan China yang tercatat di Indonesia, dengan investasi langsung mencapai 2,9 miliar dollar AS atau naik 31,7 persen dari tahun sebelumnya[3]. Dan juga produk-produk China yang masuk ke China juga menjadi sangat banyak dan bahkan membanjiri pasar lokal Indonesia. Dengan harganya yang relatif murah dan juga dari segi kualitas juga tidak kalah berbeda dengan barang-barang bermerek lainnya, membuat produk China diserbu oleh konsumen Indonesia yang rata-rata dalam memilih suatu produk dilihat dari harganya yang terjangkau terlebih dahulu.
Berbagai produk nasional yang terancam akan membanjirnya produk China antara lain dalam bidang : tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak, serta otomotif[4]. Dan akan masih banyak lagi produk-produk dari China yang akan membanjiri pasar Indonesia juga pemerintah tidak segera mengantisipasinya, dikarenakan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial yang berada di kawasan Asia Tenggara, masyarakat Indonesia sudah terbiasa menjadi masyarakat yang konsumtif, yang hanya memikirkan untuk memilih barang semurah mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
            Sedangkan bagi Indonesia sendiri, Indonesia hanya bisa mengirim bahan-bahan mentah seperti hasil bumi untuk dijadikan komuditas ekspor ke China dalam rangka CAFTA ini. Dimana harganya pun masih relatif murah sehingga pendapatan untuk negara juga tidak terlaru besar. Untuk ekspor ke China sendiri yang paling dominan adalah ekspor biji kakao. Indonesia memang dikenal sebagai penghasil biji kakao yang baik dan juga berkualitas tinggi, tidak heran kalau sector inilah yang menjadi andalan Indonesia untuk ekspor ke China. Akan tetapi ekspor ini bukan tanpa halangan, karena banyak negara yang menjadi pesaing dalam ekspor produk ini, seperti misalnya Italia dan juga Malaysia. Indonesia sendiri kini berada dalam urutan kelima dalam pemasok biji kakao ke negara China dengan nilai USD 25,12 juta (9,63 %) pada tahun 2009[5].
            Dengan banyaknya saingan yang ada maka, ini perlu dijadikan perhatian yang serius bagi pemerintah Indonesia yang dimana Indonesia sebagai negara berkembang harus bisa untuk mengolah atau memilih ekspor dengan pendapatan yang cukup besar, jangan hanya bisa mengekspor barang mentah saja, atau hasil bumi saja, paling tidak Indonesia harus sudah bisa mengekspor barang setengah jadi bahkan barang yang sudah jadi, sehingga pendapatan untuk negara juga semakin bertambah besar. Karena selama ini, ekspor Indonesia didominasi produk mentah dan bahan baku seperti biji kakao, kemudian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak mentah. Sementara itu, impor dari China sudah berbentuk barang setengah jadi dan barang yang sudah jadi terutama dalam bidang tekhnologi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko menambahkan, ada beberapa penyelamatan jangka pendek terkait pemberlakuan CAFTA itu, yakni perlindungan produk dalam negeri (safeguard), program antidumping maupun kewajiban mencantumkan produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut dia, CAFTA dalam jangka menengah memberi kesempatan untuk memacu daya saing perekonomian domestik. Dalam jangka menengah, perlu memanfaatkan peluang dengan mengidentifikasi sektor yang komplemen terhadap produk China, mendorong peluang non perdagangan seperti investasi langsung untuk kapasitas produksi dan memperbaiki logistik[6]. 
            Pemerintah tampaknya tidak perlu renegosiasi perjanjian perdagangan ASEAN-China, karena lebih menyulitkan dan membutuhkan proses lama. Karena proses negosisasi ini sendiri bukan hanya Indonesia saja yang terlibat, akan tetapi Negara-negara ASEAN juga harus ikut terlibat, karena perdagan bebas ini melingkupi keseluruhan negara-negara Asia Tenggara. Menurut Anggito Abimanyu seorang pengamat ekonomi Perjanjian CAFTA yang disepakati menteri perdagangan ASEAN-China, ada tiga. Pertama, CAFTA tetap dilanjutkan dan tidak ada rencana notifikasi karena kerugian akibat kecurangan perdagangan (unfair trade). Kedua, bila suatu negara mengalami defisit, negara surplus harus mendorong impor. Ketiga, pembentukan tim pengkajian terhadap perdagangan bilateral[7]. Bila memang ada kerugian akibat perdagangan bebas, maka membutuhkan biaya mahal dan proses panjang untuk membuktikan hal tersebut. Selain itu, kesepakatan bukan hanya dengan China tapi juga dengan negara ASEAN. 


KESIMPULAN
            Hubungan antara Indonesia dan China yang sebelumnya sempat kurang baik dan tidak terlaru dekat pada era rezim orde lama kini berangsur membaik dan bahkan sekarang menjadi mitra dagang yang cukup strategis, salah satu perwujudan dari hubungan mitra dagang yang baik antara China dan juga Indonesia adalah dengan adanya CAFTA (China ASEAN Free Trade Area) yang dimana CAFTA ini sebenarnya dimulai ketika era Megawati namun itu hanya pondasi awal, dan implementasi yang nyata dari perjanjian CAFTA itu dimulai pada 1 januari 2010. Pada awal dimulainya CAFTA ini, Indonesia sudah diresahkan dengan membanjirnya produk-produk China di pasaran lokal, yang membuat pengusaha dalam negeri kita kewalahan dan bahkan ada yang gulung tikar, dan ini merupakan hal yang sangat harus diperhatikan oleh pemerintah, yang dimana pemerintah harus bisa melindungi masyarakatnya dari serbuah produk-produk asing. Oleh karena itu perlu pemerintah harus mengkaji benar manfaat dan juga kerugian yang di dapat dari CAFTA ini, karena kalau tidak secepatnya diantisipasi bukan tidak mungkin pasar lokal akan diisi penuh oleh produk China dan pengusaha lokal hanya bisa tertunduk lesu dan melihat took-tokonya tutup gulung tikar.



[2] Ibid
[5] Departemen Perindustrian. 2009. “Roadmap Pengembangan Industri Kakao”. Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Jakarta.
[7] Ibid