“KONFERENSI
G+20 DAN KONSEP GREEN ECONOMY UNTUK MENGURANGI KERUSAKAN LINGKUNGAN”
OLeh : Mohamad Iqbal
Pada tanggal 20-22 Juni
2012 Sekitar 120 pemerintah negara diseluruh pelosok dunia akan berkumpul dan merundingkan suatu masalah yang
sangat penting demi masa depan bersama. Isu besar dalam pertemuan di Rio de
Janeiro, Brasil, dalam ajang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB yang
lebih dikenal dengan Rio+20 ini masih akan tetap sama, yaitu akan mempertemukan
negara-negara maju dengan negara-negara berkembang untuk membicarakan isu
lingkungan hidup yang kian lama kian buruk dan masalah ini harus cepat
dicarikan solusinya demi kelangsungan hidup antar negara-negara yang lebih
baik.
Pada
Konferensi Rio+20 ini akan dideklarasikan dokumen The Future We Want yang memuat masa depan yang diinginkan oleh umat
manusia di planet bumi, dan bagaimana pengaturan institusinya agar keinginan
untuk mencegah dari kehancuran bumi akibat dari ulah manusia yang tidak peduli
dengan lingkungan, yang hanya perduli kepada keuntungan semata (business as usual) bisa terealisasi dan
juga bis untuk dilaksanakan. Salah satu solusi yang akan ditawarkan dalam
konferensi ini adalah “green economy”
yang intinya adalah berisi upaya valuasi jasa lingkungan. Konsep ekonomi hijau berfokus terutama pada titik persimpangan
antara lingkungan dan ekonomi. Ini mengingatkan pada Konferensi Rio 1992: Konferensi
PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan. Sebenarnya
konsep green economy ialah rancangan
dari pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Green economy
muncul sebagai suatu pemikiran yang ideal untuk meninggalkan praktik-praktik
ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek berbasis eksploitasi sumber
daya alam dan lingkungan yang berlebihan, yang hanya akan merusak lingkungan, hingga
akhirnya mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani.
Green
economy diharapkan dapat berperan untuk menggantikan model ekonomi
“penjahat” yang boros, timpang, dan tidak ramah lingkungan. Green economy dibangun atas dasar
kesadaran akan pentingnya ekosistem yang menyeimbangkan aktivitas pelaku
ekonomi dengan ketersediaan sumber daya. Selain itu, pendekatan green economy dimaksudkan untuk
mensinergikan tiga nilai dasar yakni: profit, people, dan planet. Pandangan ini
mengimbau agar para pelaku ekonomi bukan hanya memaksimalkan keuntungan semata,
tetapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, terutama
bagi masyarakat yang berada di dekat sumber daya alam tersebut serta turut
berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Esensi dari green economy ialah mengarah pada membangun ulang kembali bisnis
yang lebih baik pada investasi alam. Green
economy diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak dari
perubahan iklim. Sehingga pada saat yang bersamaan, usaha ini akan mengurangi
emisi gas rumah kaca, menghasilkan sampah dalam jumlah kecil, penghematan
energi, dan meminimalisasi limbah-limbah industri. Negara-negara maju pun kini
mewanti-wanti Indonesia yang masih memiliki alam dan hutannya relatif masih
baik untuk dapat dilestarikan. Bahkan negara maju sampai rela mengeluarkan dana
untuk konservasi alam. Sayangnya, para pelaku ekonomi di Indonesia terkadang
tidak cermat untuk memperhatikan masalah ini. Bahkan, ada beberapa pihak
cenderung yang tidak suka dengan ajakan tersebut, karena dirasa terlalu
mengintervensi Indonesia untuk tidak memanfaatkan kekayaan alamnya, dan
menyalahkan negara maju karena telah menghancurkan hutannya ratusan tahun yang
lalu.
Konsep
green economy kemudian menjadi lekat
dengan istilah-istilah yang telah ada dalam meja perundingan perubahan iklim,
yaitu permasalahan offset karbon dan
perdagangan karbon. Green economy oleh
kalangan masyarakt sipil dipandang sebagai fase kedua dari kapitalisme, dengan
memberikan harga pada alam. Serupa dengan protokol Nagoya. Yang secara
singkatnya berbunyi, pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati oleh
korporasi-korporasi raksasa dengan pembagian keuntungan kepada masyarakat lokal
dalam proporsi yang tidak adil dan juga merata. Oleh karena itu, konsep green economy yang sudah dirancang
dengan sangat bagus ini, yang juga memperhatikan masalah lingkungan agar tidak
berakhir seperti itu.
Dan
perlu diingat adalah dasar dari negosiasi pada Rio+20 adalah prinsip “common but differentiated responsibilities”
(sama tetapi berbeda tanggung jawab). Sama dalam hal membangun dunia dengan
menghiraukan keberlanjutan alam dan ligkungan, tetapi berbeda bebannya. Yang
diharapkan sebenarnya adalah bagaimana negara berkembang bisa bekerja sama untu
meningkatkan efisiensi energi dan mengembangkan energi terbarukan. Dan
Indonesia sebagai negara berkembang yang kini mempunyai posisi strategis
seharusnya bisa memainkan perannya dalam konferensi ini. Karena pada konferensi
Rio+20 ini Presiden Indonesia berkesempatan untuk menjadi Panel of Eminent
Person atas pilihan sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon beserta dua presiden
lainnya, yaitu Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan PM Inggris David
Cameroon. Dengan ditunjuknya Indonesia sebagai salah satu dari Panel of Eminent
Person tersebut merupakan sebuah pengakuan tersendiri dari forum internasional
bahwa Indonesia juga merupakan sebuah negara besar, negara yang cukup penting,
apalagi dari segi sumber daya alamnya yang sangat melimpah, dan seharusnya ini
bisa dijadikan peningkatan bargaining
position Indonesia. Diharapkan juga Indonesia bisa merangkul negara-negara
maju dan juga negara-negara berkembang demi kepentingan nasional Indonesia
sendiri. Karena banyak dari negara maju yang sudah mau menawarkan bantuan
kepada Indonesia untuk merawat hutannya dan terus menjadikan hutan Indonesia
sebagai paru-paru dunia. Dan hal ini harusnya kita syukuri, dan kesempatan ini
harus digunakan sebaik-baiknya oleh Indonesia. Indonesia jangan hanya menjadi
negara pengekor, tapi Indonesia harus bisa menjadi inovator dalam setiap
permasalahan internasional yang terjadi sekarang ini.