KEDAULATAN
PANGAN :
ANGAN-ANGAN
ATAU REALISASI NYATA
Oleh
: Mohamad Iqbal.
Ironi,
mungkin kata itulah yang menggambarkan kondisi pangan di Indonesia pada saat
ini, negara yang dahulu pada era Soeharto pernah menjadi macan Asia karena
swasembada pangannya terutama beras, kini hanya menjadi kenangan belaka. Kawasan
ataupun daerah yang dahulunya merupakan tempat lumbung padi atau tempat bercocok
pangan lainnya, kini sudah berubah menjadi perumahan, perkantoran, dan juga
jalan-jalan besar. Kondisi ini terus menerus berlanjut hingga sekarang ini,
bahkan kita mendengar dalam media massa baik cetak maupun elektronik bahwa pada
tanggal 25-27 Juli 2012 kemarin, perajin tahu tempe, dua produk pangan khas
Indonesia, di berbagai daerah terpaksa melakukan aksi mogok produksi selama
tiga hari. Akibatnya tahu dan tempe sempat lenyap di pasaran. Penyebabnya adalah
harga kedelai selaku bahan pokok produk ini melambung tinggi harganya dan tidak
bisa dijangkau oleh para produsen tahu dan tempe.
Sekadar
catatan, kebutuhan nasional akan kedelai pada tahun 2012 diperkirakan mencapai
2,2 juta ton. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011,
produksi kedelai lokal hanya mencapai 851.287 ton tau hanya 29 % dari total
jumlah kebutuhan nasional. Sehingga Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak
71%. Artinya setengah dari kebutuhan nasional diimpor dari luar negeri. Contoh
pangan lainnya yang juga Indoensia sangat tergantung dengan negara lain yaitu,
garam 50% impor, daging sapi 23% impor, dan jagung 11,23 % harus impor dan ini
semua menghabiskan anggaran negara sebanyak 135 triliun per tahunnya. Bayangkan,
negara agraris yang subur makmur seperti Indonesia ini harus mengimpor barang
yang notabenya bisa diproduksi di Indonesia, seharusnya kalau pemerintah serius
untuk memperhatikan para petani lokal dan memberikan insentif modal kepada
mereka, Indonesia bisa lebih unggul dalam segala hal yang berkaitan dengan
kedaulatan pangan. Karena apa yang tidak dipunyai negara lain di Indonesia bisa
ditemukan dan bahkan lebih bagus.
Selain
masalah produk pangan yang masih banyak kita impor dari negara lain, ada
masalah lain yang harus segera ditangani oleh pemerintah, yaitu masalah lahan
pertanian. Karena itu merupakan infrastruktur penunjang utama dari keberhasilam
swasembada pangan. Tanpa adanya lahan yang cukup dan tanah yang bagus maka
swasembada pangan hanya akan jadi angan-angan belaka. Sekedar untuk informasi
saja, kalau kita bandingan Indonesia dengan negara lain dalam lahan pangan
sudah semakin ketinggalan jauh, Australia saja membuka sekitar 50 juta hektar
untuk swasembada pangan, kemudian Cina 143 juta hektar, Amerika Serikat 175 juta
hektar, dan Thailand 31 juta hektar. Sedangkan Indonesia hanya membuka 11 juta
hektar untuk lahan pangan. Sangat ironis untuk bangsa sebesar ini, hanya membuka
lahan pangan sebesar itu.
Ekspektasi
tinggi kini digantungkan kepada kementrian pertanian, apakah pemerintah bisa
menjadikan Indonesia kembali dalam swasembada pangan, atau Indonesia hanya menjadi
penonton perkembangan negara Asia Tenggara lainnya yang maju dalam swasembada
pangannya? dan juga apakah pmerintah akan berdiam diri saja ketika negara ini menjadi
pengimpor terbesar dunia dalam hal pangan. Aksi dari kementrian pertanian akan
kita tunggu, sejauh mana dan seberapa besar niat dari pemerintah untuk
melakukan swasembada pangan dalam mensejahterakan petani Indonesia.
Referensi :
-
Majalah “MAJELIS” yang dikeluarkan oleh MPR, edisi NO.09/TH.IV/SEPTEMBER
2012
1 komentar:
Casino at Virgin Hotels Las Vegas, NV - Mapyro
Casino at Virgin Hotels 울산광역 출장샵 Las 의정부 출장샵 Vegas, NV. Address: 3131 Las Vegas Boulevard South, Las Vegas, 충청북도 출장샵 NV 89109. 여주 출장안마 Phone: 702-770-3377. Website: http://www.pinterest.com/profile/casinos 제주 출장마사지
Posting Komentar